Gunung Api Purba in Love




“Bintang, ini gawat, kamu harus ke Jogja sekarang, ini serius,” suara Dion terbata dari balik telefon.

“Hei, tenang bro, ada apa ini, ceritakan lebih lengkap jangan seperti dikejar maling gini,” Bintang menutup pintu ruang rawat ibunya, sudah seminggu ini ibunya di rawat karena penyakit Tomur yang dideritanya.
“Ini lebih serius dari pada dikejar maling kawan, ini lebih gawat.  Kau tahu Awan kaka tingkat kita yang dulu sering ikut ngecamp bareng, akhir-akhir ini dia dekat dengan Renata,” Dion mengatur nafasnya, “dan kau tahu kawan, nanti, dimalam perayaan tahun baru dia bakal nembak Renata.” Dion menghempaskan nafasnya pelan.

“Lah terus kenapa? Bukannya itu bagus, si gadis kecil kita itu bakal lepas dari gelar jomblowatinya.”
Mendengar kalimat Bintang yang terkesan acuh, ubun-ubun Dion memanas, “jangan bodoh kawan, kau pikir aku tak tahu diam-diam kau itu suka sama Renata. Kita sudah kenal lama kawan. Hampir empat tahun kita tinggal satu kontrakan, jangan kau pikir aku tak tahu rahasia yang kau simpan sendiri itu. Bahkan aku juga tahu diam-diam kau sering memeluk daster ibumu saat kau kangen dengannya.”

Bintang hanya terdiam mendengar penuturan Dion, dia sadar kalau sebenarnya dia suka sama Renata tapi dia ragu, dia takut cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

“Okay, aku memang suka sama Renata, tapi kamu sendiri tahu kan Renata masih mengharap cinta dari masa lalunya,” Bintang menarik nafas pelan “kamu tahu juga kan yang selalu dia ceritakan hanya soal cinta masa lalunya. Bahkan sering kali aku cuma jadi teman curhatnya tentang lelaki yang nggak jelas itu.”
“Aduh kawan, itu namanya modus. Kau ini kurang peka atau memang bener-bener kolot. Kau ingat waktu kau dirawat di rumah sakit siapa yang paling sering menunggumu? Apa kau tak bisa membaca mata siapa yang paling berseri-seri setiap kali mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu. Renata kawan, dia yang sebegitu perhatian padamu.”

Bintang semakin terpojok, pernyataan yang dituturkan Dion mulai mengikis rasa ragunya selama ini. “Lalu aku harus bagaimana, kamu tahu sendiri kan kalau ibuku sedang dirawat. Besok beliau akan dioperasi, aku tak mungkin meninggalkannya.”

“Kau bisa menceritakan ini pada ibumu, beliau wanita, beliau pasti paham apa yang mesti kau lakukan untuk memperjuangkan seorang wanita. Tapi semua terserah padamu kawan, yang jelas aku sudah menceritakan semuanya. Aku hanya tak ingin kau menyesal seumur hidupmu karena terlambat mengutarakan isi hatimu. Maaf ya, aku harus siap-siap, aku tunggu kau di puncak Gunung Api Purba. Malam ini kita bakal ngecamp di sana menunggu tahun baru.”

Dion mematikan telefon.

***



Lelaki bertubuh tinggi kurus itu terus mondar-mandir di ruang rawat ibunya, sesekali dia mengacak-ngacak rambut panjangnya. Tatapan matanya kosong, otaknya seakan hampir pecah menentukan sebuah pilihan yang membingungkan. Dia ingin pergi ke Jogja menyusul Renata, tapi dia juga tak ingin meninnggalkan ibunya yang besok akan dioperasi.

“Bintang …  “ panggil ibunya lembut yang masih berbaring di atas ranjang, tubuhnya semakin kurus digerogoti penyakit.

“Iya Bu, ada apa, “ bintang menyeret kaki jangkungnya mendekat ranjang ibu. Dia duduk di sebelah ranjang ibunya.

“Bintang, kamu sedang ada masalah?, ” tanya ibunya, Bintang hanya tertunduk, “Bintang , ceritakan pada ibu kamu kenapa?” lanjutnya dengan suara lirih.

Bintang manarik nafasnya pelan, menggenggam tangan ibunya yang lemah dan menceritakan semua kisahnya. Bukanya terharu, justru ibunya menyungging senyum setelah mendengar Bintang menceritakan rasa sukanya pada Renata.

“Bintang … kamu itu mirip mendiang ayahmu. Dulu ayahmu juga mencintai ibu secara diam-diam waktu kita masih kuliah, ibu malah baru tahu itu setelah kita menikah, “ Bintang mengangkat kepala mendengar cerita ibunya “dulu ayahmu ternyata mencintai ibu diam-diam. Tapi satu hal yang membuat ayahmu berbeda, dia memperjuangkan ibu mati-matian, apalagi waktu dia dengar kabar kalau ibumu ini mau dijodohkan. Dia berusaha keras meyakinkan kakekmu kalau dia bisa menjadi lelaki seperti yang kakekmu inginkan. Ayahmu memotong rambut gondrong kebanggaannya. Dia mulai sibuk mencari pekerjaan yang lebih matang, sampai akhir kakekmu luluh dan merestui kami menikah.” Bintang terus terdiam memandangi wajah ibunya yang berubah sendu. Air mata ibunya terjatuh, ia teringat mendiang suaminya.

“Bu, tapi keadaan Bintang sekarang berbeda dengan ayah. Di sini ada ibu yang membutuhkan Bintang, kalau Renata memang jodoh Bintang Tuhan pasti jaga dia hanya untuk Bintang.”

“Bintang, sekalipun jodoh itu di tangan Tuhan, kamu juga perlu memperjuangkan. Apa kamu benar-benar siap kalau melihat orang yang kamu cintai bersanding dengan orang lain?” Bintang terus memandangi wajah ibunya.

“Tapi, Bu, “ belum sempat menjelaskan, ibunya memotong lebih dulu.

“Bintang, ibu akan baik-baik saja. Di sini masih ada Mbak Wulan kakakmu, besok pagi juga paman sama bibimu datang. Kamu tak perlu khawatir, ibu akan lebih kecewa kalau lihat anak lelaki kebanggaan ibu sakit hati karena wanita yang dicintai bersama lelaki lain. Bintang, tolong bawa Renata kemari, ibu ingin melihat gadis cantik yang sudah meluluhkan hati anakku.”

Bintang bangkit dari tempat duduknya, dia mencium kening ibunya.

“Do’akan Bintang Bu, Bintang akan membawa Renata buat ibu.”


****

Jogja cerah siang itu, gadis manis berambut panjang itu menggedong tas rangsel berwarna biru, matching dengan kaos lengan panjang biru yang dikenakannya. Dia melirik jam tangannya.

“Kira-kira berapa jam kita sampai ke atas mas?” tanyanya pada Awan yang berdiri di sampingnya. Ini kali pertama dia mau ikut ngecamp, itu pun berkat rayuan susah payah Awan.

“Tenang, nggak sampai berjam-jam kok, ini nggak sesulit yang kamu bayangkan,” Awan membenarkan posisi tas rangsel yang digendongnya, “aku jamin kamu nggak bakal nyesel ikut ngecamp malam ini.” Awan tersenyum, dalam hatinya dia tengah membayangkan Renata akan terpesona ketika malam nanti dia menyatakan cintanya. Awan sudah merencakan ini jauh hari.

Renata tersenyum pada Awan, ia senang setidaknya itu akan menjadi pengalaman pertamanya naik gunung. Meski Renata dekat dengan Dion dan Bintang  yang notabennya jebolan Pecinta Alam kampus, dia belum pernah ikut kamping bersama mereka. Dion, Renata dan Bintang mereka pernah bekerja bersama di kontor agen travel, dari sanalah mereka kenal dan berteman baik. Setiap hari libur pasti mereka sempatkan jalan bareng menikmati indahnya kota Jogja, makan bareng setiap akhir pekan. Tapi satu hal yang selalu Renata tolak ketika itu, dia selalu menolak kalau diajak naik gunung, Renata alergi dingin.

“Yakin Re, kamu bakal ikut naik?” Dion mengampiri Renata dan Awan, rumbut kribonya berayun-ayung diterpa angin, di belakangnya Akbar dan  Nisa sudah siap dengan rangsel mereka masing-masing.

“Yakinlah, sudah sampai di sini juga masa mau balik.”

“Kalau saja Bintang ikut, ini pasti akan lebih menyenangkan,” celetuk Dion, dia menghembuskan nafasnya tak beraturan, “ayo kita naik, kita nikmati sejuknya puncak Gunung Api Purba.”

Dion nylonong lebih dulu diikuti Akbar dan Nisa. Renata terdiam mendengar celetuk Dion, di dalam hatinya dia juga berharap Bintang ada di situ. Tapi rasa itu buru-buru dia tepis, dia masih kesal karena kepulangan Bintang ke Lombok tanpa pamit dulu padanya. Bahkan dia tahu cerita tentang ibunya yang sakit dari Dion. Dia merasa tidak dihargai, padahal selama ini dia sudah berusaha perhatian pada Bintang bahkan sampai membesar-besarkan cerita masa lalunya supaya bisa berlama-lama curhat pada Bintang. 
Renata kagum dengan kepribadian Bintang yang supel, humoris, nggak neko-neko tapi sangat sayang ibunya. Keputusan Bintang untuk berhenti kerja di Jogja dan mencari pekerjaan di Lombok membuat Renata semakin ragu dengan cintanya, terlebih kedatangan Awan yang sering menemani Renata akhir-akhir ini.

“Ayo Re, kita naik," ajak Awan, menarik tangan Renata, "tenang kamu pasti akan baik-baik saja,” lanjutnya. Renata tersadar dari lamunannya dan berjalan mengikuti Awan.

***

Lelaki bertubuh jangkung itu terus menghentak-hentakan kakinya pelan ke lantai tempat tunggu Bandara Internasional Lombok. Tatapan matanya terus terbagi antara jam tangan dan layar ponsel. Dia sedang duduk menunggu keberangkatan pesawat Lombok-Jogja yang mengalami delay. Dia baca lagi pesan singkat dalam ponselnya. “Ingat kawan, orang yang pacaran jarak jauh saja bisa kalah sama yang selalu ada, apalagi orang yang cuma cintanya diam-diam. Kau harus memperjuangkan cintamu kawan, apapun yang terjadi.” Begitulah pesan singkat Dion sebelum dia berangkat ke Gunung Api Purba. Membaca pesan itu membuat Bintang semakin gelisah.

Perhatian-perhatian, pesawat tujuan Jogja akan segera berangkat, diharap semua penumpang untuk mempersiapkan diri.

Mendengar suara itu Bintang bergegas menuju pesawat, dia terus berharap semoga tidak terlambat menyusul Renata mendaki Gunung Api Purba. Bintang tak bisa mengendalikan rasa gelisahnya, berkali-kali dia menilik jam tangan di dalam pesawat. Dia benar-benar takut kehilangan kesempatan.

Setelah bertarung melawan gelisah di dalam pesawat akhirnya Bintang sampai di Bandara Adisucipto sekitar pukul lima sore. Dia bergegas ke kontrakan Dion menggambil rangsel dan motor yang sudah disiapkan Dion. Sekitar pukul tujuh malam Bintang baru sampai di Gunung Api Purba. Dia berdiri ragu di dekat plang selamat datang, dia lupa tidak bawa senter.

“Yakin Mas mau mendaki, ini sudah malam loh, nggak bawa senter pula,” ucap seorang lelaki berkepala plontos penjaga tempat parkir, “kalau mau bayar 50 ribu bisa saya carikan senter.”

Bintang menghela nafas, “ia, boleh deh mas, buruan ya.”

Belum sempat lelaki berkepala plontos itu datang, ada seorang bapak yang menghampiri Bintang.

“Mau naik ke atas ya Mas, udah bareng bapak saja,” ucap lelaki berkalung sarung, dia membawa sebuah senter besar dan sebuah termos, “dari pada bayar-bayar lagi, mending bareng bapak saja, gratis.”

“Boleh Pak, ayo,” jawab Bintang singkat, mereka berdua berjalan melewati celah-celah sempit menuju puncak. Angin kencang sesekali menerpa tubuh kurus Bintang dan membuat bulu kuduknya berdiri.

“Ada acara apa mas kok malam-malam gini baru naik.”

“Ee, anu pak, tadi saya ketinggalan rombongan,” Bintang kebingungan mau menjelaskan, “bapak sendiri ada acara apa?” alibinya berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Kalau bapak mau jualan Mas, bapak biasa jualan kopi panas buat para pendaki.”

Bintang menggangguk-anggukan kepalanya pelan, mereka terus berjalan melewati tebing dan pohon-pohon rindang. 

***

Renata berdiri seorang diri memandangi langit Jogja yang dihiasa bintang. Malam itu Jogja cerah, jutaan bintang bertaburan di langit. Embusan angin sejuk membawa pikiran Renata melayang mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika dia dan Bintang menikmati malam pergantian tahun di Bukit Bintang.

“Kamu tahu Re, inilah bukitku, bukit yang Tuhan ciptakan spesial untukku, Bukit Bintang yang mempesona,” ucap Bintang sambil merentangkan tangan di tepi bangunan kafe. Dari sana terlihat pemandangan kota Jogja yang mengesankan, lampu-lampu bangunan berkilau ditambah kendaraan yang bergerak seakan membentuk sebuah dimensi lukisan malam yang menakjubkan. 

“Lebay loe ah, sebelum kamu lahir bukit ini juga sudah ada kali,” jawab Renata sambil membawakan segelas Jahe Susu pesanan Bintang.

“Tapi kamu nggak nyesel kan aku ajak kemari.”

“Nggak si, asal kamu yang bayar semua pesanan kita,” Renata duduk diikuti Bintang yang duduk di sebelahnya.

“Aduh, Re, aku minta maaf, dompetku benar-benar ketinggalan, sungguh,” terang Bintang berusaha meyakinkan Renata, “aku janji, nanti kalau sudah pulang aku ganti semuanya.”

“Iya bawel, bercanda juga,” Renata menyesap minumannya, “Bintang, kamu pernah merasakan jatuh cinta?” lanjutnya serius.

Bintang tergugup meletakan gelas minumannya, “sepertinya belum Re, emang kalau orang jatuh cinta itu seperti apa?”

“Kalau orang jatuh cinta itu, dia bakal terlihat seperti orang gila. Dia bakal melakukan apapun asal bisa membuat orang yang dia cintai tersenyum.”

“Wah kalau seperti itu aku belum pernah jatuh cinta, Re. Aku belum pernah gila untuk mengejar seseorang.” 

Mendengar kalimat Bintang membuat Renata termenung, dia tidak percaya ada lelaki sedingin Bintang. Meskipun Renata sudah supah payah mengirimkan sinyal-sinyal cintanya pada Bintang, Bintang tetap tidak menyadarinya. Malam itu dia berharap sekali kedekatannya dengan Bintang menemui titik terang, tapi sayang malam itu terang masih milik bintang-bintang di langit bukan milik Bintang yang sedang duduk di sebelahnya.

“Re, kamu baik-baik saja kan?” tegur Awan yang sudah berada di samping Renata.

“Eh, iya, aku baik-baik saja kok.” 

“Ayo gabung ke temen-temen, kita bakal ada game seru,” Awan menarik tangan Renata, menggandengnya menuju perapian.

Malam yang indah di puncak Gunung Api Purba, angin malam yang sejuk menemani mereka tertawa. Sampai pada akhirnya Awan memainkan sebuah game. Awan berdiri memegang sebuah lilin.

“Teman-teman saya ada sedikit permainan, tapi ingat, semua harus ikut dan semua harus sportif, “ Awan mengangkat lilin yang ada dalam genggamannya, “jadi gini permainannya, nanti lilin ini akan saya nyalakan, kemudian kita akan estafet memberikan lilin ini ke teman di sebelah kita. Jika lilin ini mati sebelum sampai ke teman sebelah kita, pelakunya akan dapat hukuman.”

“Hukuman? Hukuman apaan, jangan yang aneh-aneh deh Bang,” seru Dion.

“Jadi gini, siapa yang gagal menjaga lilin ini tetap nyala sebelum sampai di tangan teman sebelahnya, dia akan dihukum untuk cerita hal rahasia yang belum pernah dia ceritakan. Boleh cerita horor, boleh kejadian konyol, boleh juga urusan cinta. Yang setuju angkat tangan,” semua serempak angkat tangan, kecuali Dion. “Okay, karena banyak yang setuju, berarti semua dianggap setuju, mari kita mainkan.”

Awan mulai menyalakan lilin, ia berikan lilin itu pertama kali pada Akbar yang kebetulan duduk di sebelahnya, dan Akbar menjadi korban pertama permainan Awan. Akbar bercerita tentang kisah konyolnya waktu dia masih santri. Semua tertawa mendengar cerita Akbar yang katanya pernah ngompol di Masjid karena takut berhenti sholat, dia masih kelas satu SMP saat itu. Akbar bercerita betapa susah payahnya dia berusaha menahan tapi akhirnya bocor di saat-saat terakhir sholat. Kemudian semua berubah menjadi sendu ketika Akbar bercerita tentang perjuangannya yang harus hidup tanpa orangtua, orangtuanya meninggal saat dia masuk SMA. Dia hidup bersama kakeknya dan bekerja sampingan untuk bisa kuliah.

Semua menikmati kegilaan permainan yang dibuat Awan. Dion yang awalnya tidak begitu setuju juga ikut terbawa suasana, dia bercerita tentang perjuangannya yang selalu ditolak cewe. Dia bahkan bercerita pernah chatingan sama tante-tante yang ngakunya anak SMA. 

Malam itu sangat mengesankan, mereka semua tertawa dengan kekonyolannya masing-masing. Sampai akhirnya giliran Awan yang mendapat jatah untuk bercerita.

“Aku sudah memendamnya sejak lama, dia seperti sunrise yang aku temukan dari balik semak belukar. Awalnya aku pikir aku hanya mengagumi sosoknya yang cuek dan periang. Pertemuan demi pertemuan yang terjadi menjadi bumbu penyedap yang membuat kekagumanku kian menjadi. Aku diam-diam mulai mencintainya, dia,”

Semua antusias mendengarkan cerita Awan, kecuali Dion. Dion sudah tahu siapa wanita yang dimaksud Awan. Awan terus bercerita tentang kekagumannya pada Renata, sementara Dion terus cemas, dia masih berharap kalau Bintang datang malam itu.

Di lain situasi Bintang tengah berjuang melawan gelap dan tebing mengikuti langkah bapak-bapak penjual kopi.

“Ini puncaknya masih jauh, Pak?” tanya Bintang.

“Sudah dekak kok Mas, tinggal nanjak sedikit lagi,” Bintang terus mengikuti jejak si bapak berkalung sarung itu. Sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah persimpangan jalan setapak.

“Mas, kalau mau ke tempat kamping, lurus saja ke situ,” bapak itu menjuk ke arah jalan setapak yang terlihat cukup landai, “maaf,  bapak cuma bisa mengantar sampai di sini.”

“Oh, iya tidak apa Pak, sepertinya sudah dekat, itu ada nyala-nyala api yang terang, “ Bintang memandang teman-temannya yang sudah terlihat dari kejauhan. “terimakasih pak sudah mau mengantar.” Saat Bintang memalingkan pandangan dan hendak menyalami bapak berkalung sarung. Dia melihat bapak itu sudah berjalan lebih dulu menuju arah puncak. Tak ambil pusing, Bintang bergegas menuju  tempat kamping teman-temannya.

***

“Aku sebenarnya sudah sejak dulu suka sama kamu Re, aku jatuh cinta padamu,” terang  Awan. Renata hanya terdiam mendengar penuturan awan, “Re, aku sungguh mencintaimu,” Renata bangkit dari tempat duduknya, dia masih terkejut dengan pengakuan Awan, “Re, apa kau juga mencintaiku?”

Belum sempat Renata menjawab, Bintang datang. Dia menghentikan langkah Awan yang berusaha mendekati Renata.

“Tunggu dulu, “ teriak Bintang cukup keras, semua memalingkan tatapannya pada Bintang. Renata semakin tak terkendali, dia tak menyangka Bintang bisa berada di situ. 

“Re, ada yang ingin aku sampaikan padamu,” Bintang mengatur nafasnya, “aku tahu Re mungkin ini sedikit terlambat. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku benar-benar bodoh tidak mengerti maksud kedekatan kita. Aku selalu takut Re, aku takut cintaku cuma bertepuk sebelah tangan. Kau selalu bercerita tentang kisah masa lalumu. Kau tahu Re, justru itu yang membuatku ragu untuk melangkah. Aku terlalu takut jika kau menolakku, ” Renata semakin tak bisa mengendalikan dirinya, matanya mulai merah. Kedatangan Bintang disertai sebuah pengakuan yang sebenarnya sudah lama dia tunggu membuatnya kacau.  “tapi malam ini Re, aku benar-benar tahu apa itu cinta. Aku sudah gila dibuatnya. Aku datang buru-buru dari Lombok ke Jogja membawa kegelisahan yang amat besar, aku takut aku terlambat untuk mengatakan ini padamu, Re, meski di sisi lain aku juga takut hal buruk terjadi pada ibuku. Tapi malam ini Re, aku benar-benar mengerti apa itu sebenarnya cinta, aku mengacuhkan semua rasa takutku. Aku tak ingin menyesal seumur hidupku, Re. Aku sungguh mencintaimu.”

Air mata Renata terjatuh, dia menghambur memeluk Bintang.

“Kemana saja kau selama ini, aku hampir bunuh diri melihat tingkah bodohmu yang bahkan tak memberi tahu kepulanganmu ke Lombok. Setiap malam aku menunggu kabarmu, aku menunggu kau menghubungiku.” Air mata Renata semakin deras terjatuh, dia memeluk tubuh Bintang lebih erat.

“Maafkan aku Re, aku terlalu takut menghadapi kenyataan. Aku benar-benar takut kau akan menolakku. Aku takut kau akan menjauhiku karena tahu aku mencintaimu,” Renata semakin erat memeluk Bintang, dia tak ingin lagi kehilangan lelaki yang sangat dia cintai. Bintang melepaskan pelukan Renata, mengusap air mata Renata pelan, “apa kau mau menikah denganku, Re?” tanya Bintang dengan nada lirih.

Renata terdiam, dia memandangi lelaki yang sangat ia cintai. Dia melihat pengerannya yang sudah ditunggu-tunggu setiap malam dengan mata yang kembali berlinang, Renata menganggukan kepalanya pelan, kemudian tersenyum malu-malu. Sekarang giliran Bintang yang memeluk Renata, dia mencium kening Renata lembut, "aku mencintaimu, Re."

“Allhamdulillah, “ suara Akbar sembari menatap Nisa, “malam yang indah ini tak boleh dilewatkan,” lanjutnya.  

Nisa melirik Akbar pelan, Akbar tersenyum pada Nisa.

“Apa senyum-senyum! aku belum mau nikah, tunggu selesai S2 dulu.”

“Iya, iya … nggak sewot gitu juga kali,” Akbar tersenyum kecut. Bintang dan Renata tertawa kecil melihat tingkah Akbar dan Nisa.


“Happy New Year!” teriak Dion keras.

Suara letupan kembang api memecah angkasa. Langit Jogja semakin meriah dihiasi bintang-bintang buatan yang terbang dari bumi. Renata menggenggam tangan Bintang erat, dia berjanji tidak akan menceritakan lagi kisah cinta masa lalunya.

“Ngomong-ngomong kau tadi siapa yang mengantar," tanya Dion penasaran "perasaan aku tak melihatmu membawa senter, bagaimana kau bisa sampai ke atas,” tandasnya.

“Ah, tadi aku ketemu bapak berkalung sarung yang baik hati, dia mengantarku sampai kemari, katanya beliau itu penjual kopi pada para pendaki yang suka ngecamp di sini,” terang Bintang sambil tersenyum lebar, dia bahagia perjuangannya berakhir mengesankan.

“Bapak berkalung sarung? ”

“Iya, tadinya aku mau sewa senter sama penjaga parkir yang kepalanya plontos, eh bapak itu menawari bantuan. Ya sudah aku terima saja, gratis gini “ Dion terlihat bingung mendengar penjelasan Bintang, “emang kenapa si, kamu kenal dia?”

Dion menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia masih heran, setahu dia selama mendaki Gunung Purba Api belum pernah bertemu dengan penjual kopi yang sampai ke puncak segala. 

“Eh, ini Mas Awan pergi kemana?” semua mengalihkan pandangan pada Nisa, semua bingung tidak melihat Awan.

****

Awan buru-buru pergi ketika melihat Renata memeluk Bintang, dadanya serasa dihujani bintang-bintang dari langit. Air matanya sempat terjatuh beberapa tetes, tapi cepat dia seka. Dia tidak suka menangis, langkahnya terhenti di persimpangan menunju area kamping dan menuju arah puncak. Dia hendak turun lebih dulu tapi lupa bawa senter.

“Mau turun mas? Mari bareng bapak saja,” seorang bapak berkalung sarung menawarkan bantuan, tangan kirinya menggenggam termos.

“Oh iya Pak, terimakasih, mari.” Awan mengikuti langkah lelaki berkalung sarung itu, dia meninggalkan puncak Gunung Api Purba dengan hati yang hancur.  





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lomba Menulis Esai "Demokrasi, Pemilu, dan Partai Politik" Juara 1: 3 jt by @pialamnatsir (DL: 16 Feb 2014)

Numpang Lewat

Lomba Menulis Testimoni di Blog "Nyunyu[.]com" Juara 1: 2,5jt (DL: 16 Jan 2014)