Gunung Api Purba in Love
“Bintang, ini gawat, kamu harus ke Jogja sekarang, ini serius,” suara
Dion terbata dari balik telefon.
“Hei, tenang bro, ada apa ini, ceritakan lebih lengkap jangan seperti
dikejar maling gini,” Bintang menutup pintu ruang rawat ibunya, sudah seminggu
ini ibunya di rawat karena penyakit Tomur yang dideritanya.
“Ini lebih serius dari pada dikejar maling kawan, ini lebih gawat. Kau tahu Awan kaka tingkat kita yang dulu
sering ikut ngecamp bareng, akhir-akhir ini dia dekat dengan Renata,” Dion
mengatur nafasnya, “dan kau tahu kawan, nanti, dimalam perayaan tahun baru dia
bakal nembak Renata.” Dion menghempaskan nafasnya pelan.
“Lah terus kenapa? Bukannya itu bagus, si gadis kecil kita itu bakal lepas
dari gelar jomblowatinya.”
Mendengar kalimat Bintang yang terkesan acuh, ubun-ubun Dion memanas, “jangan
bodoh kawan, kau pikir aku tak tahu diam-diam kau itu suka sama Renata. Kita
sudah kenal lama kawan. Hampir empat tahun kita tinggal satu kontrakan, jangan kau
pikir aku tak tahu rahasia yang kau simpan sendiri itu. Bahkan aku juga tahu
diam-diam kau sering memeluk daster ibumu saat kau kangen dengannya.”
Bintang hanya terdiam mendengar penuturan Dion, dia sadar kalau
sebenarnya dia suka sama Renata tapi dia ragu, dia takut cintanya hanya
bertepuk sebelah tangan.
“Okay, aku memang suka sama Renata, tapi kamu sendiri tahu kan Renata
masih mengharap cinta dari masa lalunya,” Bintang menarik nafas pelan “kamu
tahu juga kan yang selalu dia ceritakan hanya soal cinta masa lalunya. Bahkan
sering kali aku cuma jadi teman curhatnya tentang lelaki yang nggak jelas itu.”
“Aduh kawan, itu namanya modus. Kau ini kurang peka atau memang
bener-bener kolot. Kau ingat waktu kau dirawat di rumah sakit siapa yang paling
sering menunggumu? Apa kau tak bisa membaca mata siapa yang paling berseri-seri
setiap kali mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu. Renata kawan, dia yang
sebegitu perhatian padamu.”
Bintang semakin terpojok, pernyataan yang dituturkan Dion mulai mengikis
rasa ragunya selama ini. “Lalu aku harus bagaimana, kamu tahu sendiri kan kalau
ibuku sedang dirawat. Besok beliau akan dioperasi, aku tak mungkin
meninggalkannya.”
“Kau bisa menceritakan ini pada ibumu, beliau wanita, beliau pasti paham
apa yang mesti kau lakukan untuk memperjuangkan seorang wanita. Tapi semua
terserah padamu kawan, yang jelas aku sudah menceritakan semuanya. Aku hanya
tak ingin kau menyesal seumur hidupmu karena terlambat mengutarakan isi hatimu.
Maaf ya, aku harus siap-siap, aku tunggu kau di puncak Gunung Api Purba. Malam ini kita bakal ngecamp di sana menunggu tahun baru.”
Dion mematikan telefon.
***
Lelaki bertubuh tinggi kurus itu terus mondar-mandir di ruang rawat
ibunya, sesekali dia mengacak-ngacak rambut panjangnya. Tatapan matanya
kosong, otaknya seakan hampir pecah menentukan sebuah pilihan yang membingungkan. Dia ingin pergi ke Jogja menyusul Renata, tapi dia juga tak ingin meninnggalkan ibunya yang besok akan dioperasi.
“Bintang … “ panggil ibunya
lembut yang masih berbaring di atas ranjang, tubuhnya semakin kurus digerogoti
penyakit.
“Iya Bu, ada apa, “ bintang menyeret kaki jangkungnya mendekat ranjang
ibu. Dia duduk di sebelah ranjang ibunya.
“Bintang, kamu sedang ada masalah?, ” tanya ibunya, Bintang hanya
tertunduk, “Bintang , ceritakan pada ibu kamu kenapa?” lanjutnya dengan suara
lirih.
Bintang manarik nafasnya pelan, menggenggam tangan ibunya yang lemah dan
menceritakan semua kisahnya. Bukanya terharu, justru ibunya menyungging senyum
setelah mendengar Bintang menceritakan rasa sukanya pada Renata.
“Bintang … kamu itu mirip mendiang ayahmu. Dulu ayahmu juga mencintai
ibu secara diam-diam waktu kita masih kuliah, ibu malah baru tahu itu setelah
kita menikah, “ Bintang mengangkat kepala mendengar cerita ibunya “dulu ayahmu
ternyata mencintai ibu diam-diam. Tapi satu hal yang membuat ayahmu berbeda,
dia memperjuangkan ibu mati-matian, apalagi waktu dia dengar kabar kalau ibumu
ini mau dijodohkan. Dia berusaha keras meyakinkan kakekmu kalau dia bisa
menjadi lelaki seperti yang kakekmu inginkan. Ayahmu memotong rambut gondrong
kebanggaannya. Dia mulai sibuk mencari pekerjaan yang lebih matang, sampai
akhir kakekmu luluh dan merestui kami menikah.” Bintang terus terdiam
memandangi wajah ibunya yang berubah sendu. Air mata ibunya terjatuh,
ia teringat mendiang suaminya.
“Bu, tapi keadaan Bintang sekarang berbeda dengan ayah. Di sini ada ibu
yang membutuhkan Bintang, kalau Renata memang jodoh Bintang Tuhan pasti jaga
dia hanya untuk Bintang.”
“Bintang, sekalipun jodoh itu di tangan Tuhan, kamu juga perlu
memperjuangkan. Apa kamu benar-benar siap kalau melihat orang yang kamu cintai
bersanding dengan orang lain?” Bintang terus memandangi wajah ibunya.
“Tapi, Bu, “ belum sempat menjelaskan, ibunya memotong lebih dulu.
“Bintang, ibu akan baik-baik saja. Di sini masih ada Mbak Wulan kakakmu,
besok pagi juga paman sama bibimu datang. Kamu tak perlu khawatir, ibu akan
lebih kecewa kalau lihat anak lelaki kebanggaan ibu sakit hati karena wanita
yang dicintai bersama lelaki lain. Bintang, tolong bawa Renata kemari, ibu
ingin melihat gadis cantik yang sudah meluluhkan hati anakku.”
Bintang bangkit dari tempat duduknya, dia mencium kening ibunya.
“Do’akan Bintang Bu, Bintang akan membawa Renata buat ibu.”
****
Jogja cerah siang itu, gadis manis berambut panjang itu menggedong tas
rangsel berwarna biru, matching dengan kaos lengan panjang biru yang dikenakannya.
Dia melirik jam tangannya.
“Kira-kira berapa jam kita sampai ke atas mas?” tanyanya pada Awan yang
berdiri di sampingnya. Ini kali pertama dia mau ikut ngecamp, itu pun berkat
rayuan susah payah Awan.
“Tenang, nggak sampai berjam-jam kok, ini nggak sesulit yang kamu
bayangkan,” Awan membenarkan posisi tas rangsel yang digendongnya, “aku jamin
kamu nggak bakal nyesel ikut ngecamp malam ini.” Awan tersenyum, dalam hatinya
dia tengah membayangkan Renata akan terpesona ketika malam nanti dia menyatakan
cintanya. Awan sudah merencakan ini jauh hari.
Renata tersenyum pada Awan, ia senang setidaknya itu akan menjadi
pengalaman pertamanya naik gunung. Meski Renata dekat dengan Dion dan Bintang yang notabennya jebolan Pecinta Alam kampus, dia
belum pernah ikut kamping bersama mereka. Dion, Renata dan Bintang mereka
pernah bekerja bersama di kontor agen travel, dari sanalah mereka kenal dan berteman
baik. Setiap hari libur pasti mereka sempatkan jalan bareng menikmati indahnya kota Jogja, makan
bareng setiap akhir pekan. Tapi satu hal yang selalu Renata tolak ketika itu,
dia selalu menolak kalau diajak naik gunung, Renata alergi dingin.
“Yakin Re, kamu bakal ikut naik?” Dion mengampiri Renata dan Awan, rumbut
kribonya berayun-ayung diterpa angin, di belakangnya Akbar dan Nisa sudah siap dengan rangsel mereka masing-masing.
“Yakinlah, sudah sampai di sini juga masa mau balik.”
“Kalau saja Bintang ikut, ini pasti akan lebih menyenangkan,” celetuk
Dion, dia menghembuskan nafasnya tak beraturan, “ayo kita naik, kita nikmati
sejuknya puncak Gunung Api Purba.”
Dion nylonong lebih dulu diikuti Akbar dan Nisa. Renata terdiam
mendengar celetuk Dion, di dalam hatinya dia juga berharap Bintang
ada di situ. Tapi rasa itu buru-buru dia tepis, dia masih kesal karena
kepulangan Bintang ke Lombok tanpa pamit dulu padanya. Bahkan dia tahu cerita
tentang ibunya yang sakit dari Dion. Dia merasa tidak dihargai, padahal selama ini dia
sudah berusaha perhatian pada Bintang bahkan sampai membesar-besarkan cerita
masa lalunya supaya bisa berlama-lama curhat pada Bintang.
Renata kagum dengan kepribadian Bintang yang supel, humoris, nggak neko-neko tapi sangat sayang ibunya. Keputusan Bintang untuk berhenti kerja di Jogja dan mencari pekerjaan di Lombok membuat Renata semakin ragu dengan cintanya, terlebih kedatangan Awan yang sering menemani Renata akhir-akhir ini.
Renata kagum dengan kepribadian Bintang yang supel, humoris, nggak neko-neko tapi sangat sayang ibunya. Keputusan Bintang untuk berhenti kerja di Jogja dan mencari pekerjaan di Lombok membuat Renata semakin ragu dengan cintanya, terlebih kedatangan Awan yang sering menemani Renata akhir-akhir ini.
“Ayo Re, kita naik," ajak Awan, menarik tangan Renata, "tenang kamu pasti akan baik-baik saja,” lanjutnya. Renata
tersadar dari lamunannya dan berjalan mengikuti Awan.
***
Lelaki bertubuh jangkung itu terus menghentak-hentakan kakinya pelan ke
lantai tempat tunggu Bandara Internasional Lombok. Tatapan matanya terus terbagi antara jam tangan dan layar ponsel. Dia sedang duduk menunggu keberangkatan pesawat Lombok-Jogja yang mengalami delay. Dia baca lagi pesan singkat dalam
ponselnya. “Ingat kawan, orang yang pacaran jarak jauh saja bisa kalah sama yang
selalu ada, apalagi orang yang cuma cintanya diam-diam. Kau harus
memperjuangkan cintamu kawan, apapun yang terjadi.” Begitulah pesan singkat Dion
sebelum dia berangkat ke Gunung Api Purba. Membaca pesan itu membuat Bintang
semakin gelisah.
Perhatian-perhatian,
pesawat tujuan Jogja akan segera berangkat, diharap semua penumpang untuk
mempersiapkan diri.
Mendengar suara itu Bintang bergegas menuju pesawat, dia terus berharap
semoga tidak terlambat menyusul Renata mendaki Gunung Api Purba. Bintang tak
bisa mengendalikan rasa gelisahnya, berkali-kali dia menilik jam tangan di dalam pesawat. Dia
benar-benar takut kehilangan kesempatan.
Setelah bertarung melawan gelisah di dalam pesawat akhirnya Bintang sampai di Bandara Adisucipto sekitar pukul lima sore. Dia bergegas ke kontrakan Dion menggambil rangsel dan
motor yang sudah disiapkan Dion. Sekitar pukul tujuh malam Bintang baru sampai
di Gunung Api Purba. Dia berdiri ragu di dekat plang selamat datang, dia lupa
tidak bawa senter.
“Yakin Mas mau mendaki, ini sudah malam loh, nggak bawa senter pula,”
ucap seorang lelaki berkepala plontos penjaga tempat parkir, “kalau mau bayar
50 ribu bisa saya carikan senter.”
Bintang menghela nafas, “ia, boleh deh mas, buruan ya.”
Belum sempat lelaki berkepala plontos itu datang, ada seorang bapak yang
menghampiri Bintang.
“Mau naik ke atas ya Mas, udah bareng bapak saja,” ucap lelaki berkalung
sarung, dia membawa sebuah senter besar dan sebuah termos, “dari pada
bayar-bayar lagi, mending bareng bapak saja, gratis.”
“Boleh Pak, ayo,” jawab Bintang singkat, mereka berdua berjalan melewati
celah-celah sempit menuju puncak. Angin kencang sesekali menerpa tubuh kurus
Bintang dan membuat bulu kuduknya berdiri.
“Ada acara apa mas kok malam-malam gini baru naik.”
“Ee, anu pak, tadi saya ketinggalan rombongan,” Bintang kebingungan mau
menjelaskan, “bapak sendiri ada acara apa?” alibinya berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“Kalau bapak mau jualan Mas, bapak biasa jualan kopi panas buat para
pendaki.”
Bintang menggangguk-anggukan kepalanya pelan, mereka terus berjalan melewati tebing dan pohon-pohon rindang.
***
Renata berdiri seorang diri memandangi langit Jogja yang dihiasa
bintang. Malam itu Jogja cerah, jutaan bintang bertaburan di langit. Embusan angin sejuk membawa pikiran Renata melayang mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika dia dan Bintang menikmati malam pergantian tahun di Bukit Bintang.
“Kamu tahu Re, inilah bukitku, bukit yang Tuhan ciptakan spesial untukku,
Bukit Bintang yang mempesona,” ucap Bintang sambil merentangkan tangan di tepi
bangunan kafe. Dari sana terlihat pemandangan kota Jogja yang mengesankan,
lampu-lampu bangunan berkilau ditambah kendaraan yang bergerak seakan membentuk sebuah
dimensi lukisan malam yang menakjubkan.
“Lebay loe ah, sebelum kamu lahir bukit ini juga sudah ada kali,” jawab
Renata sambil membawakan segelas Jahe Susu pesanan Bintang.
“Tapi kamu nggak nyesel kan aku ajak kemari.”
“Nggak si, asal kamu yang bayar semua pesanan kita,” Renata duduk
diikuti Bintang yang duduk di sebelahnya.
“Aduh, Re, aku minta maaf, dompetku benar-benar ketinggalan, sungguh,”
terang Bintang berusaha meyakinkan Renata, “aku janji, nanti kalau sudah pulang aku
ganti semuanya.”
“Iya bawel, bercanda juga,” Renata menyesap minumannya, “Bintang, kamu
pernah merasakan jatuh cinta?” lanjutnya serius.
Bintang tergugup meletakan gelas minumannya, “sepertinya belum Re, emang
kalau orang jatuh cinta itu seperti apa?”
“Kalau orang jatuh cinta itu, dia bakal terlihat seperti orang gila. Dia
bakal melakukan apapun asal bisa membuat orang yang dia cintai tersenyum.”
“Wah kalau seperti itu aku belum pernah jatuh cinta, Re. Aku belum pernah
gila untuk mengejar seseorang.”
Mendengar kalimat Bintang membuat Renata termenung, dia tidak percaya
ada lelaki sedingin Bintang. Meskipun Renata sudah supah payah mengirimkan sinyal-sinyal cintanya
pada Bintang, Bintang tetap tidak menyadarinya. Malam itu dia berharap sekali kedekatannya dengan Bintang menemui
titik terang, tapi sayang malam itu terang masih milik bintang-bintang di langit
bukan milik Bintang yang sedang duduk di sebelahnya.
“Re, kamu baik-baik saja kan?” tegur Awan yang sudah berada di samping Renata.
“Eh, iya, aku baik-baik saja kok.”
“Ayo gabung ke temen-temen, kita bakal ada game seru,” Awan menarik
tangan Renata, menggandengnya menuju perapian.
Malam yang indah di puncak Gunung Api Purba, angin malam yang sejuk
menemani mereka tertawa. Sampai pada akhirnya Awan memainkan sebuah game. Awan
berdiri memegang sebuah lilin.
“Teman-teman saya ada sedikit permainan, tapi ingat, semua harus ikut dan
semua harus sportif, “ Awan mengangkat lilin yang ada dalam genggamannya, “jadi
gini permainannya, nanti lilin ini akan saya nyalakan, kemudian kita akan
estafet memberikan lilin ini ke teman di sebelah kita. Jika lilin ini mati
sebelum sampai ke teman sebelah kita, pelakunya akan dapat hukuman.”
“Hukuman? Hukuman apaan, jangan yang aneh-aneh deh Bang,” seru Dion.
“Jadi gini, siapa yang gagal menjaga lilin ini tetap nyala sebelum
sampai di tangan teman sebelahnya, dia akan dihukum untuk cerita hal rahasia
yang belum pernah dia ceritakan. Boleh cerita horor, boleh kejadian konyol, boleh
juga urusan cinta. Yang setuju angkat tangan,” semua serempak angkat tangan,
kecuali Dion. “Okay, karena banyak yang setuju, berarti semua dianggap setuju, mari kita mainkan.”
Awan mulai menyalakan lilin, ia berikan lilin itu pertama kali pada
Akbar yang kebetulan duduk di sebelahnya, dan Akbar menjadi korban pertama
permainan Awan. Akbar bercerita tentang kisah konyolnya waktu dia masih santri. Semua tertawa mendengar cerita Akbar yang katanya pernah
ngompol di Masjid karena takut berhenti sholat, dia masih kelas satu SMP saat itu. Akbar bercerita betapa susah payahnya dia berusaha menahan tapi akhirnya bocor di saat-saat terakhir sholat. Kemudian semua berubah menjadi sendu ketika Akbar bercerita
tentang perjuangannya yang harus hidup tanpa orangtua, orangtuanya meninggal saat dia masuk SMA. Dia hidup bersama kakeknya dan bekerja sampingan untuk bisa kuliah.
Semua menikmati kegilaan permainan yang dibuat Awan. Dion yang awalnya
tidak begitu setuju juga ikut terbawa suasana, dia bercerita tentang perjuangannya
yang selalu ditolak cewe. Dia bahkan bercerita pernah chatingan sama
tante-tante yang ngakunya anak SMA.
Malam itu sangat mengesankan, mereka semua tertawa dengan kekonyolannya masing-masing. Sampai akhirnya giliran Awan yang mendapat jatah untuk bercerita.
Malam itu sangat mengesankan, mereka semua tertawa dengan kekonyolannya masing-masing. Sampai akhirnya giliran Awan yang mendapat jatah untuk bercerita.
“Aku sudah memendamnya sejak lama, dia seperti sunrise yang aku temukan
dari balik semak belukar. Awalnya aku pikir aku hanya mengagumi sosoknya yang
cuek dan periang. Pertemuan demi pertemuan yang terjadi menjadi
bumbu penyedap yang membuat kekagumanku kian menjadi. Aku diam-diam mulai
mencintainya, dia,”
Semua antusias mendengarkan cerita Awan, kecuali Dion. Dion sudah tahu
siapa wanita yang dimaksud Awan. Awan terus bercerita tentang kekagumannya
pada Renata, sementara Dion terus cemas, dia masih berharap kalau Bintang
datang malam itu.
Di lain situasi Bintang tengah berjuang melawan gelap dan tebing
mengikuti langkah bapak-bapak penjual kopi.
“Ini puncaknya masih jauh, Pak?” tanya Bintang.
“Sudah dekak kok Mas, tinggal nanjak sedikit lagi,” Bintang terus
mengikuti jejak si bapak berkalung sarung itu. Sampai akhirnya mereka berhenti di sebuah persimpangan jalan setapak.
“Mas, kalau mau ke tempat kamping, lurus saja ke situ,” bapak itu menjuk
ke arah jalan setapak yang terlihat cukup landai, “maaf, bapak cuma bisa
mengantar sampai di sini.”
“Oh, iya tidak apa Pak, sepertinya sudah dekat, itu ada nyala-nyala api
yang terang, “ Bintang memandang teman-temannya yang sudah terlihat dari
kejauhan. “terimakasih pak sudah mau mengantar.” Saat Bintang memalingkan
pandangan dan hendak menyalami bapak berkalung sarung. Dia melihat bapak itu sudah berjalan
lebih dulu menuju arah puncak. Tak ambil pusing, Bintang bergegas menuju tempat kamping teman-temannya.
***
“Aku sebenarnya sudah sejak dulu suka sama kamu Re, aku jatuh cinta
padamu,” terang Awan. Renata hanya
terdiam mendengar penuturan awan, “Re, aku sungguh mencintaimu,” Renata bangkit
dari tempat duduknya, dia masih terkejut dengan pengakuan Awan, “Re, apa kau
juga mencintaiku?”
Belum sempat Renata menjawab, Bintang datang. Dia menghentikan langkah
Awan yang berusaha mendekati Renata.
“Tunggu dulu, “ teriak Bintang cukup keras, semua memalingkan tatapannya pada
Bintang. Renata semakin tak terkendali, dia tak menyangka Bintang bisa berada di situ.
“Re, ada yang ingin aku sampaikan padamu,” Bintang mengatur nafasnya, “aku tahu Re mungkin ini sedikit terlambat. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku benar-benar bodoh tidak mengerti maksud kedekatan kita. Aku selalu takut Re, aku takut cintaku cuma bertepuk sebelah tangan. Kau selalu bercerita tentang kisah masa lalumu. Kau tahu Re, justru itu yang membuatku ragu untuk melangkah. Aku terlalu takut jika kau menolakku, ” Renata semakin tak bisa mengendalikan dirinya, matanya mulai merah. Kedatangan Bintang disertai sebuah pengakuan yang sebenarnya sudah lama dia tunggu membuatnya kacau. “tapi malam ini Re, aku benar-benar tahu apa itu cinta. Aku sudah gila dibuatnya. Aku datang buru-buru dari Lombok ke Jogja membawa kegelisahan yang amat besar, aku takut aku terlambat untuk mengatakan ini padamu, Re, meski di sisi lain aku juga takut hal buruk terjadi pada ibuku. Tapi malam ini Re, aku benar-benar mengerti apa itu sebenarnya cinta, aku mengacuhkan semua rasa takutku. Aku tak ingin menyesal seumur hidupku, Re. Aku sungguh mencintaimu.”
“Re, ada yang ingin aku sampaikan padamu,” Bintang mengatur nafasnya, “aku tahu Re mungkin ini sedikit terlambat. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Aku benar-benar bodoh tidak mengerti maksud kedekatan kita. Aku selalu takut Re, aku takut cintaku cuma bertepuk sebelah tangan. Kau selalu bercerita tentang kisah masa lalumu. Kau tahu Re, justru itu yang membuatku ragu untuk melangkah. Aku terlalu takut jika kau menolakku, ” Renata semakin tak bisa mengendalikan dirinya, matanya mulai merah. Kedatangan Bintang disertai sebuah pengakuan yang sebenarnya sudah lama dia tunggu membuatnya kacau. “tapi malam ini Re, aku benar-benar tahu apa itu cinta. Aku sudah gila dibuatnya. Aku datang buru-buru dari Lombok ke Jogja membawa kegelisahan yang amat besar, aku takut aku terlambat untuk mengatakan ini padamu, Re, meski di sisi lain aku juga takut hal buruk terjadi pada ibuku. Tapi malam ini Re, aku benar-benar mengerti apa itu sebenarnya cinta, aku mengacuhkan semua rasa takutku. Aku tak ingin menyesal seumur hidupku, Re. Aku sungguh mencintaimu.”
Air mata Renata terjatuh, dia menghambur memeluk Bintang.
“Kemana saja kau selama ini, aku hampir bunuh diri melihat tingkah
bodohmu yang bahkan tak memberi tahu kepulanganmu ke Lombok. Setiap malam aku menunggu
kabarmu, aku menunggu kau menghubungiku.” Air mata Renata semakin deras
terjatuh, dia memeluk tubuh Bintang lebih erat.
“Maafkan aku Re, aku terlalu takut menghadapi kenyataan. Aku benar-benar
takut kau akan menolakku. Aku takut kau akan menjauhiku karena tahu aku
mencintaimu,” Renata semakin erat memeluk Bintang, dia tak ingin lagi
kehilangan lelaki yang sangat dia cintai. Bintang melepaskan pelukan Renata,
mengusap air mata Renata pelan, “apa kau mau menikah denganku, Re?” tanya Bintang dengan nada lirih.
Renata terdiam, dia memandangi lelaki yang sangat ia cintai.
Dia melihat pengerannya yang sudah ditunggu-tunggu setiap malam dengan mata
yang kembali berlinang, Renata menganggukan kepalanya pelan, kemudian
tersenyum malu-malu. Sekarang giliran Bintang yang memeluk Renata, dia mencium
kening Renata lembut, "aku mencintaimu, Re."
“Allhamdulillah, “ suara Akbar sembari menatap Nisa, “malam yang indah
ini tak boleh dilewatkan,” lanjutnya.
Nisa melirik Akbar pelan, Akbar tersenyum pada Nisa.
“Apa senyum-senyum! aku belum mau nikah, tunggu selesai S2 dulu.”
“Iya, iya … nggak sewot gitu juga kali,” Akbar tersenyum kecut. Bintang dan
Renata tertawa kecil melihat tingkah Akbar dan Nisa.
“Happy New Year!” teriak Dion keras.
Suara letupan kembang api memecah angkasa. Langit Jogja semakin meriah
dihiasi bintang-bintang buatan yang terbang dari bumi. Renata menggenggam
tangan Bintang erat, dia berjanji tidak akan menceritakan lagi kisah cinta masa lalunya.
“Ngomong-ngomong kau tadi siapa yang mengantar," tanya Dion penasaran "perasaan aku tak
melihatmu membawa senter, bagaimana kau bisa sampai ke atas,” tandasnya.
“Ah, tadi aku ketemu bapak berkalung sarung yang baik hati, dia
mengantarku sampai kemari, katanya beliau itu penjual kopi pada para pendaki yang
suka ngecamp di sini,” terang Bintang sambil tersenyum lebar, dia bahagia perjuangannya berakhir mengesankan.
“Bapak berkalung sarung? ”
“Iya, tadinya aku mau sewa senter sama penjaga parkir yang
kepalanya plontos, eh bapak itu menawari bantuan. Ya sudah aku terima saja, gratis gini “
Dion terlihat bingung mendengar penjelasan Bintang, “emang kenapa si, kamu
kenal dia?”
Dion menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia masih heran, setahu dia selama
mendaki Gunung Purba Api belum pernah bertemu dengan penjual kopi yang
sampai ke puncak segala.
“Eh, ini Mas Awan pergi kemana?” semua mengalihkan pandangan pada Nisa,
semua bingung tidak melihat Awan.
****
Awan buru-buru pergi ketika melihat Renata memeluk Bintang, dadanya
serasa dihujani bintang-bintang dari langit. Air matanya sempat terjatuh
beberapa tetes, tapi cepat dia seka. Dia tidak suka menangis, langkahnya terhenti
di persimpangan menunju area kamping dan menuju arah puncak. Dia hendak turun
lebih dulu tapi lupa bawa senter.
“Mau turun mas? Mari bareng bapak saja,” seorang bapak berkalung
sarung menawarkan bantuan, tangan kirinya menggenggam termos.
“Oh iya Pak, terimakasih, mari.” Awan mengikuti langkah lelaki berkalung sarung itu, dia meninggalkan puncak Gunung Api Purba dengan hati yang
hancur.
Komentar
Posting Komentar